blazer korea

Setangkai Mawar dalam Genggaman Sultan



Sri Sultan Hamengkubuwono X, akan mantu dan upacara adat keraton telah dimulai hari ini, 21 Oktober 2013 dilanjutkan akad nikah dan resepsi panggih (pertemuan) esok hari, 22 Oktober 2013. Ini akan menjadi gawe sang raja untuk terakhir kalinya, mengingat dengan pernikahan ini, seluruh putrinya telah naik ke pelaminan.


Sri Sultan Hamengkubuwono X, kini juga Gubernur Yogyakarta (saat lahir bernama Gusti Raden Mas Herjuno Darpito dan sesudah menikah bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi) adalah raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (sebuah daerah yang sejak Hindia Belanda berstatus sebagai daerah swapraja, daerah dengan otonomi khusus). Ia merupakan putra raja dan pahlawan nasional yang terkenal, Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1912-1987, Gubernur Yogyakarta, Menteri Pertahanan pasca revolusi, Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri 1966-1973, Wakil Presiden R.I., 1973-1978) dari isteri almarhumah Kanjeng Raden Ayu (KRAy) Windyaningrum. Sultan Hamengkubowono X bertahta sejak 7 Maret 1989.


Menikah dengan permaisuri, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas (sekarang Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah) dan dikaruniai 5 orang puteri (GKR Pembayun, GKR Candro Kirono, GKR Maduretno, GKR Hayu, dan GKR Bendara). Berbeda dengan sang ayah, Sultan tak pernah menjalani poligami, lazimnya para raja di masa lalu. Berbeda dengan sang ayah, yang tidak pernah mengangkat permaisuri. Sultan adalah satu-satunya raja dalam dinasti yang bergelar haji sebelum naik tahta. Akibat kebijakan kolonial tempo dulu, sekalipun berkedudukan sebagai Sayidin Panatagama (Pembina Kehidupan Beragama), sultan dan putra mahkota dilarang menunaikan ibadah haji. Sultan juga menjadi satu-satunya raja yang bergelar Sarjana Hukum (dari UGM), padahal sebagai raja tentunya “segala titahnya adalah hukum.” Sultan dan permaisuri menjadi tokoh terkenal dan teladan bagi masyarakat Yogyakarta.


Putri yang akan dinikahkan adalah puteri ke-4, GKR Hayu (lahir 30 tahun lalu, dengan nama Gusti Raden Ajeng Nurabra Juwita). Sang putrid akan menikah dengan Angger Pribadi Wibowo dan telah memperoleh gelar baru dari Sultan, yaitu Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro.


The Royal Wedding ini akan menjadi pernikahan ageng terakhir keluarga Sultan Hamengkubowono X. Setelah menyelesaiakan pendidikan tinggi di Amerika dan Inggris (2007-2013), GKR Hayu bekerja di perusahaan IT seperti Microsoft Indonesia, Aprisma Indonesia, dan Gameloft Indonesia. Kini, di lingkungan Keraton, GKR Hayu memperoleh kedudukan sebagai pengageng (pemimpin) Tepas Tandhayekti, lembaga yang mengurusi dokumentasi dan pusat data Keraton yang didirikan sejak Agustus 2012 yang lalu. Unit kerja ini pula yang bertanggung jawab untuk mengangkat dan mengenalkan tradisi keraton ke seluruh dunia.


Malam hari ini (21/10) telah dimulai tahapan upacara pernikahan. Ada acara midodareni (memohon doa keselamatan) dan nyantri. Sebagai calon menantu Sultan, KPH Notonegoro juga harus menjalani prosesi ini untuk mengenal tata krama dan tata cara kehidupan Keraton. Jadi, semacam training sebelum memasuki kehidupan baru sebagai bangsawan. Nyantri juga dilakukan untuk mengetahui keseharian calon mempelai pria di mana egala perilaku dan tindak tanduk yang ditunjukkan akan menjadi tolok ukur penilaian. Dalam masa ini, masing-masing calon mempelai dilarang untuk bertemu muka satu sama lain. Sebelumnya proses ini berlangsung 40 hari akan tetapi sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX, dipersingkat menjadi 7 hari, lalu 3 hari, dan sekarang hanya semalam saja.


Malam ini, Sri Sultan Hamengkubuwono X juga melaksanakan upacara tantingan, yaitu menanyakan kesanggupan puterinya untuk menjalani kehidupan pernikahan. Ini simbol demokrasi, sekalipun sebagai penguasa tunggal, Sultan masih memerlukan untuk mendengar aspirasi dari puterinya. Uniknya, sesudah acara ini, GKR Hayu lalu menandatangani akta perkawinan yang disiapkan oleh pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.


Sesudah acara ini, GKR Hayu kembali menjalani masa pingitan dan Sultan, permaisuri, dan kerabat Keraton mengunjugi calon besan dan calon menantu di Bangsal Ksatriyan, kompleks Kraton yang dulu menjadi tempat tinggal putera raja sebelum menikah. Ini unik. Biasanya, dalam pernikahan adat di Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang saya tahun, calon mempelai putera melaksanakan ijab Kabul di kediaman mempelai puteri tetapi tanpa didampingi orang tuanya. Tetapi, dalam tradisi Kraton, justru sebelum ijab Kabul, orang tua mempelai pria dan kerabatnya telah diboyong ke Kraton dan tinggal di lingkungan Kraton sebelum akad nikah dilangsungkan.


Menarik dalam acara Sultan mengunjungi calon mempelai putera dan orang tuanya. Di samping menanyakan kabar, Sultan dengan rileks berbicara kepada KPH Notonegoro. “Ada enggak yang akan dititipkan kepada calon isterimu?” sebab setelah mengunjungi calon menantu, Sultan akan meninjau puterinya di Bangsal Keputren. Spontan, KPH Notonegoro beringsut duduk dan kemudian menghampiri karangan bunga tepat di belakang Sultan. Setangkai bunga diambil dan diberikan kepada Sultan dengan harapan akan diberikan kepada calon isterinya.


Bunga itu adalah bunga mawar biru, yang konon merupakan bunga kesayangan GKR Hayu. Sungguh romantis ternyata KPH Notonegoro. Lagipula, dalam upacara untuk puterinya yang terdahulu, hal itu tak pernah dilakukan Sultan. Sambil tersenyum, Sultan bertanya, “Apa cukup bunga ini saja? Apa pakai kata-kata lain, misalnya I love you,” gurau Sultan. KPH Notonegoro hanya tersenyum dan tertunduk hormat dihadapan calon mertuanya itu.


Sesudah itu, dengan menggenggam setangkai mawar biru dan senyum mengembang di bibir, yang segera memancing perhatian kerabat dan para jurnalis, Sultan beranjak pergi ke Keputren. Tentu setangkai mawar biru itu akan diberikan kepada puterinya, yang esok akan menjalani akad nikah.


Bagaimana kira-kira reaksi GKR Hayu memperoleh kejutan dari calon suaminya? Ah saya hanya bisa terharu. Keraton adalah bagian dari budaya Jawa, dan Jawa itu sendiri penuh dengan simbolisme. “Katakan dengan bunga” nampaknya menjadi slogan pula dalam KPH Notonegoro untuk menyampaikan perasaannya kepada GKR Hayu.


Tiba-tiba saya ingat lagu Mawar Biru (ciptaan maestro keroncong almarhum Gesang) dan dipopulerkan oleh Waldjinah. “Wekasan mung welingku aku titip kembang mawar biru. Openono minongko tanda katresnanku.” (Di penghujung kata, aku titipkan bunga mawar biru. Jagalah sebagai tanda kasih sayangku).


Lagipula, dengan kewibawaan sebagai Raja, Sultan nampaknya “gaul” juga. Ia mengerti romantisme remaja masa kini.


Sungkem saya untuk Sultan Hamengkubowono X. Selamat berbahagia GKR Hayu. Selamat pula kepada KPH Notonegoro, semoga menjalin keluargayang sakinah, mawwadah, warrahmah, dan…..jangan nambah ya (ha ha ha…husss, ini the royal wedding).




sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/21/setangkai-mawar-dalam-genggaman-sultan-602657.html

Setangkai Mawar dalam Genggaman Sultan | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar