Oleh:
M. R. Aulia
*Ditulis Kamis Pagi, 24 Oktober 213, diselesaikan pukul 11:30 WIB.
Beberapa waktu yang lalu tersebar melalui pesan singkat, tentang larangan memberi apapun kepada pengemis. Sebagai warga negara Indonesia, saya sangat sedih melihat kondisi seperti ini, sedih karena pengemis, hari demi hari kian menjamur. Selain memberi kesan wajah perkotaan yang buruk, sebagian besar yang jiwa raganya utuh, sebenarnya mereka adalah kumpulan orang miskin secara mentalitas, bukan semata-mata kalah saing secara ekonomi.
Pengemis adalah satu dari banyak model profesi di dunia. Kesibukan memanggang diri di setiap pinggir jalan raya, lampu merah, dan tempat keramaian lainnya, demi mengumpulkan koin demi koin rupiah, bahkan jika beruntung lembaran rupiah pun bisa didapatkan dengan cepat, banyak dan lebih sejahtera jika dibandingkan pegawai resmi lainnya.
Bukti keberagaman manusia hidup di alam dunia ini. Berbeda secara pendapatan dan berbeda secara penampakan. Secara pendapatan mereka yang kalah saing dalam merebut pundi-pundi baik dengan cara lazim ataupun tidak lazim. Secara penampakan, pengemis biasanya mengenakan pakaian terkumuh agar mendapatkan rasa simpati dan belas kasihan bagi banyak orang.
Dahulu, pengemis dianggap sebagai golongan yang kalah saing secara materi, kumuh secara penampakan, dan segala keterbelakangan sosial hinggap dan menyatu di raga dan jiwa mereka. Namun, sekarang pengemis tidaklah seperti yang dibayangkan. Hampir sebagian besar dari mereka, menjadi pengemis bukan lagi semata-mata karena keterbelakangan secara materi, melainkan kenikmatan dalam bekerja. Mengemis sudah jadi profesi, bukan sekedar mengganjal perut atas serangan lapar dan rasa tak berdaya lainnya.
Ada beberapa faktor mengapa banyak orang memilih untuk jadi pengemis. Diantaranya, mengemis dianggap lebih mendapatkan keuntungan yang cepat, tanpa harus mengeluarkan modal lebih, dan pengemis yang terlihat berdaya, sejatinya mereka yang terkena serangan kemiskinan mentalitas. Hal yang demikian, saya mengklasifikasikannya menjadi dua, yaitu pengemis berdaya dan pengemis tidak berdaya.
Pengemis berdaya adalah mereka yang sebenarnya mampu dan terlihat sehat untuk bekerja, namun karena faktor mental, mereka bertahan untuk terus jadi pengemis. Sementara itu, pengemis tak berdaya adalah mereka secara raga tidak memungkinkan untuk bekerja dan mandiri.
Faktor kemiskinan mentalitas yang paling dominan terjadi dalam banyak kasus di Indonesia. Merasa tidak berdaya, padahal berdaya. Dari hasil mengemis saja, mereka bisa membeli barang-barang yang sebenarnya tak mungkin dapat dibeli oleh mereka. Tidak aneh banyak pengemis yang lebih sejahtera dibandingkan profesi legal lainnya.
Seperti hasil penulusuran Detikcom, di sudut Kota Bandung. Tepatnya di Kelurahan Sukabungah, Kecamatan Sukajadi. Kawasan tersebut memang dikenal masyarakat luas sebagai kampung pengemis. Mayoritas yang bermukim disana adalah pendatang yang pada akhirnya sama-sama memiliki profesi yang sama yaitu pengemis.
Coba lihat bagaimana gaya hidup pengemis disana. Diantaranya adalah kebiasaan pengemis yang mampu ikut arisan Rp 500.000 perminggu, mampu memberi uang jajan anak Rp 5000 perhari, bahkan para pengemis tersebut mempunyai dawa tawar yang sangat tinggi bahkan tidak masuk akal. Ketika pemkot Bandung mempunyai inisiatif alih profesi bagi para pengemis, mereka malah minta digaji sekitra Rp 4 juta hingga 10 Juta. Angka yang sangat fantastis.
Jika melihat fenomena di atas, sungguh memperihatinkan kondisi para pengemis di negeri ini. Yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah konsistensi memaksa mereka para pengemis berdaya untuk hengkang dan jauh dari pusat-pusat keramaian.
Usaha dan upaya alih profesi kepada mereka harus terus dijalankan. Meskipun daya tawar yang tinggi, mungkin itu semua berdasarkan kondisi mental mereka saat itu. Pembinaan mental secara terus menerus, mungkin dapat membuat wajah perkotaan sedikit lebih cerah dan kinclong. Disanalah titik tolak yang harus diperhatikan.
Sementara itu, kita sebagai warga biasa lainnya, tak harus tega dan merasa kasihan kepada pengemis-pengemis yang menghampiri kita. Tak harus tergoda dengan wajah luka yang mereka pasang. Artinya satu koinpun tak boleh jatuh ke tangan-tangan mereka. Bukan berarti kita pelit, namun cara tersebut bukanlah solusi bagi mereka.
Yang mereka butuhkan adalah pembinaan mental. Mau sampai kapan mereka para pengemis berdaya seperti itu. Akhirnya spanduk larangan memberi dan gerakan anti pengemis yang terus dikampanyekan pemerintah Kota Bandung adalah salah satu cara bagaimana merubah mentalitas para pengemis, terutama yang termasuk pengemis berdaya.

0 komentar:
Posting Komentar