blazer korea

2014 (Politik Indonesia Vs Piala Dunia Brazil)



Mendekati 2014, secara keseluruhan masyarakat di Indonesia semakin antusias. Mengingat tahun tersebut adalah tahun yang (dibuat untuk) ditunggu sebagai tahun demokrasi, pemilihan umum. Selain itu, perlu diingat juga, masyarakat kita adalah masyarakat bola yang juga menunggu gelaran ter-akbar dalam sepakbola, piala dunia Brazil. Sekali lagi bola beradu gengsi dengan politik di Negara ini (tapi saya yakin masih banyak yang menunggu piala dunia ketimbang pileg dan pilpres).


Jagad politik kita sudah menetapkan 12 partai peserta pemilu, sedangkan jagad sepakbola dunia telah meloloskan 21 tim dari 32 kursi. Dalam tataran ini, baik tim sepakbola maupun partai politik melewati jalan yang cukup terjal mencapai singgasana peserta pila dunia dan pemilu. Dalam bola kita mengenal play-off yang memperebutkan 6 jatah lolos, kalau pemilu juga ada play-off yaitu perjuangan dua partai terakhir melalui babak play-off di MK. Baik pemilu ataupun piala dunia memiliki sistem kompetisi yang hampir mirip, salah satunya adalah penentuan tim unggulan dan underdog. Tim macam Brazil, Spayol, Jerman, Argentina sepertinya sejajar dengan PDI-P, Golkar dan Demokrat. Sedangkan tim calon kuda hitam macam Belgia, Columbia, Bosnia, Rusia rasanya memiliki kesempatan layaknya Gerindra, Hanura dan NasDem. Bedanya, kalau dalam bola tim pejuang dari play-off memiliki kemungkinan besar untuk menjadi kuda hitam kejuaraan, tapi kalau dalam politik sepertinya susah tim play-off dapat berbicara banyak dalam pemilu.


Level pemain juga menarik untuk kita bicarakan. Sebagian besar mata dunia tertuju pada pemain pada bintang macam Messi, Ribery, Rooney, Neymar, Goetze, serta hidup mati antara Ronaldo dan Ibrahimovic. Di jagad dunia politik kita ada megabintang Jokowi, bintang-bintang kawakan macam Megawati, Prabowo, JK, ARB, Wiranto, serta rising star seperti Mahfud MD dan Dahlan Iskan.


Dalam pemilihan pemain terbaik, sepakbola menggunakan model demokrasi yang menurut saya elegan, yaitu oleh pelatih dan kapten tim nasional anggota FIFA. Disini jarang terjadi friksi dan intrik yang kurang sehat antara para pemilih ataupun jajaran petinggi FIFA. Mengingat ukuran yang dipakai jelas, selain skill pemain, prestasi juga menjadi pertimbangan dominan. Tidak ada kampanye meningkatkan elektabilitas dengan pencitraan dan uang selain tarian pemain di lapangan dan intensitas mereka mengangkat trofi.


Berbeda dengan jalan perebutan singgasana menuju figur terbaik dalam dunia politik untuk menjadi RI 1. Jalan ini sangat terjal, penuh dengan pencitraan, uang dan juga penjatuhan pada lawan politik. Sang figur didandani sedemikian rupa oleh tim suksenya masing-masing dalam berbagai dimensi untuk mendapatkan atensi pemilih, salah satunya lewat poling. Sejauh ini sang megabintang Jokowi masih menguasai hasil poling di berbagai lembaga (terkecuali lembaga poling internal partai). Secara pribadi, saya ikut-ikutan melihat bagaimana tingkah polah pemilih di Indonesia dengan menggunakan bantuan mbah Google. Ternyata hasilnya tidak mengagetkan bagi saya, mengingat lagi-lagi Jokowi memimpin dalam mesin pencarian Google dengan sangat signifikan. Berikut adalah datanya:









































































No



Nama Figur



Waktu



Jumlah data dalam Google



1



Jokowi



0,14 detik



Sekitar 11.000.000



2



SBY



0,16 detik



Sekitar 8.310.000



3



Prabowo



0,29 detik



Sekitar 3.010.000



4



Mahfud MD



0,25 detik



Sekitar 2.700.000



5



Wiranto



0,20 detik



Sekitar 2.520.000



6



Jusuf Kalla



0,33 detik



Sekitar 1.750.000



7



Aburizal Bakrie



0,25 detik



Sekitar 1.690.000



8



Boediono



0,44 detik



Sekitar 1.680.000



9



Megawati Soekarno Putri



0,17 detik



Sekitar 1.640.000



10



Surya Paloh



0,17 detik



Sekitar 1.170.000




Dari data sederhana diatas, saya hanya terkaget-kaget ketika melihat bagaimana Jokowi dapat berada diatas SBY. Padahal jelas SBY memiliki akses untuk masuk dalam lalulintas internet lebih lama daripada Jokowi. Hitung saja SBY sudah jadi Presiden mulai tahun 2004, padahal Jokowi tahun tersebut (mungkin saja) baru mencalonkan diri sebagai Walikota Solo. Saya juga terheran-heran kenapa masih ada beberapa poling yang (berani-beraninya) menaruh Jokowi dibawah figure-figur yang lainnya. Kalau ini mungkin mereka memiliki objektifitas keilmiahannya sendiri.


Coretan ini hanya otak-atik penulis dengan cara paling awam saja, mengingat bagaimanapun sepakbola tidak mungkin bisa dibandingkan dengan politik. Peta dalam politik berubah dengan sangat cepat, banyak faktor penentu tingkat popularitas dan elektabilitas, berbeda dengan sepakbola yang membutuhkan waktu cukup lama untuk merubah peta kekuatan. Butuh bertahun-tahun Negara membangun timnas lewat pembinaan akademi bibit muda mereka. Wajar jika kita hanya dapat melihat tokoh dadakan/instan dalam politik (biasanya artis) bukan dalam bola. Kepoluleran artis dapat mudah menaklukkan pemilih, namun seorang Messi atau Ronaldo mengorbankan waktu kecil dan remajanya bertahun-tahun untuk menjadi bintang bola. Jangan lupa pula bahwa sepakbola mengagungkan spotivitas, sedangkan politik memilih memandang semuanya dengan kepentingan belaka.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/10/24/menakar-2014-politik-indonesia-vs-piala-dunia-brazil-601837.html

2014 (Politik Indonesia Vs Piala Dunia Brazil) | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar