Pemilu legislatif sudah mulai dekat. Dalam hitungan bulan perebutan kursi anggota legislatif dimulai. Dalam pesta demokrasi ini terutama dalam pemilihan anggota legislatif DPRD khususnya tingkat II ada fenomena yang menarik. Di beberapa kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta banyak kepala desa yang mengundurkan diri dari jabatannya sebelum habis masa jabatannya untuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari partai politik tertentu.
Bagi partai baru yang belum pernah mengikuti pemilu, hal ini tidak menjadi masalah, malah menguntungkan karena sebagai partai baru memang membutuhkan banyak kader dalam tubuh partai untuk menjadi caleg. Tetapi bagi partai politik yang sudah lama / mapan mungkin menjadi persoalan yang cukup dilematis.
Di satu sisi partai diuntungkan dengan mendapatkan kader yang mempunyai “modal” berupa kapabilitas, popularitas dan elektabilitas -minimal mempunyai massa terbukti terpilih menjadi kades lewat pemilihan langsung. Kades sebagai tokoh sentral desa merupakan patron yang memiliki basis massa yang kuat di wilayahnya masing-masing.
Tetapi disisi lain proses ini sejatinya adalah memotong kompas jalur kaderisasi di dalam tubuh partai -ini berlaku bagi kades yang bukan kader partai politik-. Ini mengindikasikan fungsi kaderisasi dalam tubuh partai kurang berjalan dengan baik. Di sengaja atau tidak, proses ini sebenarnya kurang sehat bagi partai karena mereka belum berkeringat dalam partai tetapi bisa langsung menerobos dalam jajaran elit partai tanpa melalui proses pentahapan kader terlebih dahulu. Biasanya ada aturan internal partai bahwa mereka harus menjadi anggota partai dalam kurun waktu tertentu sebelum bisa di calonkan menjadi caleg. Ini mungkin bisa menciderai dari kader-kader lama yang karena keterbatasannya tetapi tidak mendapatkan kesempatan menjadi caleg. Ini tidak terlepas para caleg ini mempunyai modal karena untuk menjadi caleg membutuhkan biaya politik yang cukup mahal yang harus di tanggung.
Hal yang cukup riskan bagi partai, bagi para -mantan- kepala desa ini yang ujug-ujug menjadi seorang politisi -walaupun kepala desa juga sebenarnya juga jabatan politis- kader sebuah partai politik adalah persoalan penanaman ideologi partai. Dengan kehadirannya yang cukup instan dalam partai dan langsung mendapat tempat posisi yang cukup strategis tentu belum bisa memahami dan menghayati ideologi yang merupakan garis partai. Di butuhkan waktu untuk indoktrinasi ideologi partai. Tidak dapat secara instan. Ini hal yang penting. Hal ini akan berbeda dengan kader partai yang sudah lama dan kemudian menjadi caleg. Lain soal jika partai sudah tidak lagi menjadikan ideologi tertentu dalam penentuan gerak langkah partai. Ideologi sebagai garis partai hanya menjadi pertimbangan yang kesekian dalam proses pemilihan internal parpol dalam proses tersebut
Investasi politik yang cukup instan ini akan menjadi catatan yang penting bagi parpol jika ingin menjadikan fungsi kaderisasi sesuai dengan ideologi partai ini berjalan sesuai dengan garis partai yang ditetapkan.
Pada saat ini citra partai di mata rakyat tengah merosot. Ini tidak terlepas dari banyak terbongkarnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa kader partai di hampir semua partai politik termasuk partai yang mengklaim Bersih sekalipun. Partai sebagai institusi terkena imbasnya. Ini mengakibatkan citra partai politik merosot tajam ke bawah.
Hal ini menguatkan wacana di akar rumput bahwa masyarakat sekarang lebih percaya pada orang dari pada partai. Rakyat akan memilih caleg berdasarkan kualitas orangnya, bukan darimana asal partainya. Jika asumsi publik itu benar, maka menjadi catatan tersendiri bagi partai untuk bekerja lebih keras untuk menaikkan citra partai sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi partai untuk mengelola kader-kader dalam bingkai pertimbangan ideologi yang semestinya pro rakyat. Jika ini di abaikan tanpa adanya peneyimbangan dalam tubuh partai ini akan menjadi bumerang dalam tubuh sebuah partai.
Maka partai mesti hati-hati dalam proses rekruitmen apalagi menyangkut calon anggota legislatif yang merupakan etalase bagi sebuah partai.

0 komentar:
Posting Komentar