Selama tiga hari kemarin perhatian masyarakat Yogyakarta tersedot pada prosesi pernikahan putri ke empat Sultan Hamengkubuwana X GKR Hayu dan KPH Notonegoro yang disebut sebaga Pawiwahan Ageng atau Dhaup Ageng yang artinya Pernikahan Agung atau di Inggris orang menyebutnya sebagai Royal Wedding.
Rangkaian Prosesi pernikahan ini sebenarnya tidak hanya selama tiga hari ini saja tetapi sudah di awali beberapa hari sebelumnya. Mulai dari Nyekar, yaitu berziarah ke makam leluhur kerajaan Mataram yaitu Panembahan Senopati dan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Kemudian Nyantri, yaitu calon mempelai pria yang akan menyunting Puteri Sultan diwajibkan untuk tinggal di Kompleks Kraton untuk mempelajari berbagai hal mengenai adat istiadat kraton, unggah-ungguh (tata krama), dan juga sebagai santri untuk memperdalam ilmu agama serta akhlaknya. Pada jaman sebelum Sultan HB IX proses nyantri ini berjalan selama 40 hari dipimpin oleh Pepatih Dalem, namun karena perkembangan budaya masyarakat yang menuntut kepraktisan dari segi waktu proses nyantri ini hanya dilakukan dalam beberapa hari.
Dilanjutkan kemudian dengan acara Siraman yang dilakukan untuk masing-masing calon mempelai. Siram bahasa Jawa artinya adalah mandi yang bermakna membersihkan dan menyucikan diri. Calon pengantin yang akan memasuki babak baru dalam kehidupan disyaratkan untuk mensucikan diri, sehingga pada saat akhir siraman ditutup dengan wulu (ind. Wudlu) seperti sebelum melaksanakan sholat. Air siraman diambil dari 7 sumber yang ada di Kraton. Angka 7 sering dipakai sebagai acuan dalam berbagai acara adat jawa bukan karena angka 7 memiliki nilai mistis atau angka hoki tetapi tujuh dalam bahasa jawa adalah Pitu , yang merupakan awalan kata untuk mengekspresikan ajaran kebaikan, seperti Pitutur (contoh baik), Pitulungan (pertolongan), Pituwas (petuah kebaikan), Pituduh (petunjuk). Bahasa Jawa kelihatannya memang di desain sedemikian rupa oleh para pujangga dahulu sehingga menyatu (blended) dengan ajaran budi pekerti, filsafat dan seni budaya, seperti halnya tradisi mempergunakan simbol yang berupa gambar grafis dan kata-kata yang disusun sedemikian rupa membentuk penanda angka tahun (sengkalan), khusus mengenai sengkalan di sini.
Proses selanjutnya adalah pasang Tarub. Tarub adalah hiasan berupa janur (daun kelapa muda) padi dan buah, buahan yang dipasang di gerbang rumah yang menandakan bahwa yang empunya rumah sedang punya hajat mantu. Kata tarub diambil dari nama Jaka Tarub yang dikisahkan menikah dengan dewi nawang wulan seorang bidadari dari kahyangan.
Setelah berbagai proses tersebut dilaksanakan kemudian pada malamnya dilakukan acara Tantingan (penegasan) oleh Sultan sebagai orang tua terhadap putrinya atas kemantapan dan kesiapannya untuk berumahtangga dengan pilihannya. Adanya tantingan ini menepis anggapan sebagian masyarakat selama ini bahwa segala keputusan di dalam Kraton dilakukan Sultan mutlak berdasarkan kekuasaan atau feodal tanpa melakukan musyawarah dan saling pengertian. Setelah tantingan adalah malam Midodareni, pengantin wanita mempersiapkan diri sebaik-bainya untuk melepas masa lajangnya sehingga seperti bidadari yang turun dari kahyangan.
Acara Akad Nikah di lakukan hari Selasa pagi 22 oktober di Masjid Panepen yang berada di dalam Kompleks Kraton. Masjid Panepen adalah masjid yang khusus dipergunakan Sultan untuk nenepi atau tafakur, mendekatkan diri kepada Allah swt. Untuk mohon petunjuk dan bimbingan dalam menjalankan pemerintahan. Acara ini sebenarnya tidak untuk umum karena hanya di hadiri kerabat Sultan dan rombongan mempelai pria beserta keluarganya. Upacara Akad Nikah diawali dengan Khotbah Nikah yang dilakukan oleh Penghulu Kraton. Semua unggah-ungguh (sopan santun) dan tata cara tetap berlaku dalam acara ini. Mulai dari masuk dengan langkah dhodhok (berjalan jongkok) dan sungkeman oleh calon pengantin pria kepada Sultan dengan melepaskan wangkingan (keris) yang artinya sungkeman ini tulus untuk menganggap mertua seperti orang tua sendiri dan tidak ada niat jahat untuk merebut kekuasaan. Semua dialog dalam Ijab Qobul dan khotbah nikah dilakukan dengan bahasa jawa bagongan (bahasa halus kraton).
Puncak acara Dhaup Ageng ini adalah pada acara Panggih, yaitu pertemuan pengantin laki-laki dan perempuan dengan busana Paes Ageng. Pengantin wanita dipaes dengan Wanda Luruh gaya Yogya dengan alur riasan rambut mengarah ke ujung hidung (grana) dan hiasan godeg berbentuk mangot (pangot adalah pisau tradisional untuk mencungkil kelapa). Rambut digelung dengan hiasan bunga melati berbentuk belalai gajah yang posisinya agak kekanan disebut Gajah Ngoling dengan cunduk mentul (hiasan tangkai bunga di kepala) 5 buah yang memberikan simbol bahwa sebagai seorang istri harus selalu tetap menggunakan kelima panca inderanya untuk mengelola keharmonisan rumah tangganya. Diartikan juga bahwa harus selalu berpegang pada 5 Rukun Islam. Telinga mengenakan sumping ron kates (daun pepaya) yang dihias prada emas. Pengantin Pria mengenakan gelung (sanggul) dengan sisa rambut diurai dibelakang dan cunduk mentul 1 buah sebagai tanda pemegang pimpinan rumah tangga yang setia. Kedua mempelai mengenakan Kelat bahu (gelang di lengan atas) bermotif naga dengan kepala menghadap ke belakang bermakna falsafah jawa mulat sarira hangrasa wani (berani tapi penuh pengertian dan tidak menyombongkan diri).
Upacara panggih diikuti dengan wijikan (mencuci kaki pengantin laki-laki oleh pengantin perempuan) sebagai simbol bakti seorang Istri kepada suami, dan memecah telor. Kemudian dilakukan Pondongan (Bopongan) yaitu mempelai perempuan di gendong atau dibopong oleh mempelai Laki-laki dibantu oleh pawan mempelai perempuan. Acara pondongan ini hanya berlaku di kraton untuk mempelai perempuan anak Raja sebagai tanda kehormatan dan tidak berlaku bagi masyarakat umum.
Selesainya acara panggih ditandai dengan lantunan Gending Boyong dari gamelan pengiring, dilanjutkan dengan acara Tampa Kaya dan Dhahar Klimah yang jika diuraikan juga memiliki makna tersirat sebagai pedoman dalam membina rumah tangga sesuai adat Jawa.
Yang juga menarik untuk diamati adalah pemakaian gamelan yang intens tidak hanya sebagai background untuk memeriahkan suasana pahargyan tetapi merupakan penanda dari tema acara (theme song). Total gamelan yang dipakai lebih dari 10 set yg merupakan gamelan pusaka kraton yang ditempatkan di berbagai penjuru ruangan ditambah beberapa gamelan dari luar keraton. Gamelan Pusaka yang dipakai antara lain adalah:
1. Kanjeng Kyai Surak, laras Slendro berada di Gedhong Gangsa Kidul
2. Kanjeng Kyai Guntur Sari berada di Bangsal Magangan
3. Kanjeng Kyai Kancil Belik laras Pelog berada di Gedhong gangsa Kidul
4. Kanjeng Kyai Surat madu dan Madu Kenter di Bangsal kasatryan
5. Kanjeng Kyai Guntur laut di Bangsal Mandalasana
6. Kanjeng kyai Harjo Mulyo dan Harjo Negoro di Bangsal Srimanganti
7. Kanjeng kyai Kebo Gadhang di Bangsal Ponconiti
8. Kanjeng Kyai Madu Murti dan Madu Kusumo di Pagelaran
Gending-gending yang ditabuh dengan gamelan-gamelan tersebut selalu menyesuaikan dengan suasana acara. Pada saat Sultan tedhak (turun menemui para tamu) dialunkan Ladrang Prabu Mataram laras slendro ditabuh bersama-sama dengan Ladrang Prajamanggala laras Pelog Enem. Saat Kedatangan Presiden RI dilantunkan Ladrang Golong laras pelog Pathet Enem yang menyiratkan makna menyatunya (golong gilig) Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Republik Indonesia. Saat acara Panggih dilantunkan Gending Boyong diikuti oleh seluruh perangkat gamelan dibunyikan bersama-sama baik Pelog maupun Slendro sehingga menimbulkan suasana meriah gegap gempita.
Acara dihari berikutnya adalah Kirab (pawai) kereta pusaka kraton yang membawa rombongan pengantin, sebanyak 12 buah kereta pusaka dikerahkan. Diantara kereta pusaka tersebut ada yang usianya sudah ratusan tahun. Misal kereta Kanjeng Kyai Wimono putro yang dikendarai oleh Sultan dan Permaisuri adalah bikinan tahun 1860 semasa Hamengku Buwono VI. Bahkan kereta yang dipergunakan Pakualam adalah kereta yang pernah dipakai oleh Pangeran Diponegoro. Semua pusaka kraton baik berupa senjata, kereta, atau gamelan diberi nama kanjeng kyai, ternyata punya maksud sebagai konservasi dan pelestarian sejarah. Masyarakat umum kadang salah menilai bahwa barang barang pusaka tersebut berbau mistik atau bertuah, padahal sesungguhnya ini adalah upaya cerdas para pendahulu untuk melestarikan warisan sejarah dengan memberikan nama penghormatan bagi benda-benda bersejarah. Bisa dibayangkan bila benda-benda tersebut tidak ditetapkan sebagai barang pusaka, pasti sudah hancur sebagai besi tua yang tidak terawat, karena masyarakat kita sekarang cenderung tidak peduli dengan warisan sejarah dan hasil pencapaian masa lalu.
Salam
Ade Darma

0 komentar:
Posting Komentar