Pak SBY marah. Sepulang dari KTT APEC, beliau langsung mengadakan konferensi pers. Raut wajah beliau meski terlihat tenang, tetap terlihat kegeraman dan kemarahan. Intonasi kata-kata yang dipakai pun sama, terdapat emosi yang menggelegak. Istilah ’seribu persen’ dan ‘dua ribu persen’ dia kemukakan, melebihi rasio persentasi normal 100%. Dan sebuah janji dia ucapkan bahwa dalam satu dua hari akan dibongkar jati diri Bunda Puteri.
Kita simak yang terjadi sekarang. Istilah seribu persen dan dua ribu persen sering dipakai masyarakat, tapi dengan konotasi negatif, menyindir. Dan janji beliau membuka jati diri Bunda Puteri seolah menjadi jebakan Batman yang dipasang sendiri. Dua hari berlalu, identitas Bunda Puteri terkuak, tetapi dikuak oleh media -mainstream atau sosial. Seminggu berlalu, SBY tetap diam, dan rakyat langsung menvonis ‘SBY ingkar janji’.
Apakah tindakan Pak SBY itu reaktif atau responsif? Apakah yang terjadi adalah hasil dari sikap beliau yang reaktif? Lalu apa bedanya responsif dengan reaktif?
Responsif berbeda dengan reaktif. Penelusuran dari google dengan kata kunci ‘reaktif responsif’ membawa saya ke sebuah wawancara. Seorang mantan Kepala Dinas Pendidikan Purbalingga, Heny Ruslanto, dalam wawancara tanggal 26 Januari 2013 di laman Satelit Pos, membedakan kedua karakteristik itu secara sederhana. ‘Reaktif cenderung mengedepankan perspektif negatif ketika bertemu masalah. Akibatnya, faktor emosional mendominasi tiap keputusan yang diambil. Pada akhirnya, bukan solusi yang lahir, namun permasalahan baru’.
Sementara itu ‘responsif lebih mengedepankan rasio ketika menyikapi sebuah masalah. Seseorang berpikir lebih jernih ketika mendahulukan rasio ketimbang emosi. Sikap positif akan membantu menyelesaikan masalah menjadi lebih mudah. Responsif juga bisa dimaknai cepat bertindak, namun tiap keputusan dihasilkan dari pemikiran yang jernih’.
Penelusuran lainnya mengantar saya kepada sebuah artikel menarik di Kompasiana. Tulisan lawas seorang Kompasianer, Hento2008, tertanggal 11.09.2011, yang bertema sama. Beliau menulis bahwa reaktif adalah tindakan tanpa memikirkan akibat yang bakal ditimbulkannya. Tindakan ini muncul dan berasal dari ego, berdasarkan emosional. Sementara ego masih berkaitan erat dengan kenyamanan badan dan tidak lepas dari lapisan kesadaran rendah. Bukan berdasarkan intelejensia.
Sementara itu ‘Responsif sangat mendekati reaktif. Hanya, seseorang yang responsif merupakan reaksi tapi tidak spotan. Adalah reaksi yang bertanggung jawab. Tidak hanya berdasarkan ego atau kepentingan diri. Namun berdasarkan kepentingan bersama. Kepentingan yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan bagi khalayak umum’. ‘Tindakan yang responsif memiliki kecendrungan tidak langsung dilaksanakan. Tapi dilakukan setelah memikirkan akibat dari perbuatannya. Bukan hanya untuk diri sendiri, kelompok maupun golongan’.
Demikian pula hasil penelusuran dalam bahasa Inggris dengan kata kunci ‘reactive responsive’.
‘Reactive behavior is action taken without sufficient thought or planning. It is one of the key causes of poor individual and project performance’, menurut George Pitagorsky di www.projecttimes.com.
‘Responsiveness implies thoughtful action that considers long and short term outcome in the context of the situation at hand. Reactive behavior is immediate and without conscious thought, like a knee jerk response. Reactive behavior is often driven by the emotions’.
Jika melihat tafsiran-tafsiran di atas, dan pembaca bisa lebih jauh membaca artikel lainnya, saya melihat bahwa itu mirip dengan yang terjadi. Mungkin saat itu Pak SBY reaktif.
SBY mungkin saat ini sedang merenung, menyesali tindakannya yang terlalu reaktif, mereaksi sebuah kasus yang bertalian dengan pribadinya secara cepat - mumpung pikiran dan hati juga emosi masih di sana saat itu. Mungkin sekarang beliau sedang berpikir ‘kalau saja saya responsif, tidak terbawa emosi, lebih bisa menahan diri, merespon masalah ini dengan rasio maka sekarang saya mendapat solusi dan bukan masalah baru’. Serba mungkin.
Tapi, melihat definisi tadi, seyogyanya seorang pemimpin itu responsif dan bukan reaktif sehingga bisa menghindari munculnya masalah baru. Namun bagaimana jika sudah terlanjur reaktif? Ya tidak apa-apa, lah. Pemimpin juga manusia biasa yang memiliki emosi. Hanya saja dengan bersikap reaktif, siap-siap saja harus menghadapi masalah baru. Tinggal mana yang mau dipilih.

0 komentar:
Posting Komentar