blazer korea

Etos Kerja, Sex dan Tidak Menikah; Sebuah Keniscayaan atau Anomali Perilaku Negara Maju



Berita media saat ini, mungkin sedang hangat-hangatnya memberitakan tetang royal wedding alias pernikahan putri bungsu Sri Sultan HB X bahkan di siarkan live oleh salah satu TV swasta. Tetapi ada sesuatu yang sangat menarik perhatian saya pada saat menyaksikan tayangan di TV swasta itu. Bukan tentang pernikahan tersebut tetapi sepenggal running text, yang menyatakan bahwa populasi orang jepang menurun drastis karena keenganan pemuda-pemudi di sana untuk menikah. Nah dari titik inilah terlahir artikel ini.


Survei di tahun 2011 menunjukkan 61 persen pria dan 49 persen wanita usia antara 18-34 tahun masih melajang. Menurut data yang dilansir Guardian , Senin 21 Oktober 2013, jumlah itu meningkat hingga 10 persen selama lima tahun terakhir (vivanews.com)



Dari fakta diatas terlihat bahwa masyarakat usia produktif di Jepang, ternyata lebih mencintai sekolah, pekerjaan dan kesuksesan karir mereka ketimbang pernikahan dan keluarga., selain itu juga memang biaya hidup di Jepang bisa di katakan sangat tinggi sehingga mau-tak mau memaksa mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Bayangkan saja untuk makan sehari saja di Jepang bisa mencapai 400-500 ribu rupiah..Waaw..kalo di Indonesia bisa buat sebulan tuch ! .


Karena saking gila kerjanya orang Jepang dan tingginya biaya hidup di sana, maka mereka menganggap bahwa menikah dan punya anak akan menambah beban mereka.


Pertanyaan sekarang adalah Jika memang angka pernikahan menurun, Kenapa kebutuhan akan sex malah meningkat di Jepang ?


Sebenarnya sejak awal, “Sex Pra Nikah” di kalangan masyarakat Jepang bukanlah suatu hal yang di tabukan, seperti yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu angka sex pra nikah di usia remaja terus meningkat, dan hal ini berlangsung hingga memasuki abad 21. Tetapi Menurut hasil survey terakhir bahwa kecenderungan (baca: sex pra nikah) itu mulai menurun, tapi terjadi peningkatan dalam perubahan perilaku sexual lain bahkan cenderung menyimpang.


Menurut informasi yang pernah di baca, Jepang adalah salah satu atau mungkin satu-satunya Negara di Asia pertama yang telah melegalkan industry pornografi di negaranya. Hal itu terjadi sekitar tahun 70-80 an, walaupun pada kenyataannnya pada masa kekaisaran Jepang Kuno dulu juga sudah melegalkan pertunjukan teater sex pada jaman tersebut. Akibatnya perkembangan industry yang menyertai industry Film Porno itu pun ikut berkembang pesat. Misalnya Sex Doll buatan Orient Doll yang di banderol dengan harga sekitar US$50 juta-US$100 juta, dan laku di sana. Belum lagi technology Sex Toys yang perkembangannya sangat pesat dan di jual bebas di sana tapi terkontrol tentunya.


Sampai di titik ini, dapat di hipotesakan bahwa di Negara maju ada korelasi lurus antara etos kerja dengan kebutuhan seksual. Makin tinggi etos kerjanya, maka makin tinggi kebutuhan sexnya… “ Lho koq bisa ? ngaur nich..!! Bukannya orang yang lelah bekerja tidak bisa ereksi ?”


Jawabannya bisa saja. Karena orang yang lelah bekerja belum tentu lelah berpikir (baca:stres). Tetapi sebaliknya orang yang stress pasti mengalami kelelahan fisik secara keseluruhan. Contohnya: para petani, tukang becak, politisi, pengusaha dan para pekerja keras lainnya yang mencintai pekerjaan dan hidup mereka. Orang-orang ini mungkin terlihat lelah secara fisik tetapi pikiran mereka sebenarnya tidak lelah, bahkan mereka masih sangat bisa mencari pelampiasan untuk memanjakan pikiran mereka agar tetap fresh. Bisa dengan cara pergi ke tempat hiburan malam, “massage”, “short date”, swalayan (baca: mastrubasi) etc. . Jadi menurut saya lagi nich, adalah salah anggapan bahwa melayani dan memanjakan diri itu adalah untuk mengobati stress, melainkan adalah mencegah stress . Karena untuk mengobati stress bukan ke tempat hiburan malam, panti pijat, berfantasi sex dll, tetapi pergilah ke psikiater atau pergi ke tempat ibadah untuk menghadap kepada Tuhannya masing-masing.


Begitupun juga halnya yang terjadi dengan masyarakat Jepang yang memiliki etos kerja yang tinggi. Mereka tidak terlihat stress, karena sangat mencintai kehidupan mereka dan tetap bisa menyalurkan kebutuhan sex mereka walau tidak harus menikah (baca: tidak harus bermakna sex bebas) dengan cara yang lebih aman. Namun bagi sebagian orang Jepang yang tidak bisa mencintai cara kehidupan mereka sekarang dan tidak mau atau tidak mampu melakukan hal-hal untuk mencegah terjadinya strees itu karena terbentur dengan norma yang dianut dan di imani, maka cara terbaik yang di lakukan adalah “harakiri” alias bunuh diri. Oleh sebab itu angka kasus bunuh diri di Jepang sangat tinggi. Dan kebanyakan kasus bunuh diri itu terjadi pada di usia-usia produktif.


Kembali ke Judul, Apakah semua Negara maju seperti itu ? Menurut saya sich rata-rata memang seperti itu, namun ada pengecualian untuk di Jepang. Di beberapa Negara maju seperti Denmark, US dan Canada, etos kerja dan kebutuhan akan sex juga tinggi, namun hal tersebut tidfak berpengaruh kepada keinginan mereka untuk berumah tangga dan memiliki anak.


Berbeda dengan di Jepang yang terjadi akhir-aklhir ini, dimana di sana ada kecenderungan penurunan keinginan untuk menikah di kalangan masyarakat usia subur. Apakah hal ini bisa di sebut sebuah anomaly saja atau memang hal ini terbentuk karena ada benturan kebudayaan di sana, yaitu antara budaya ketimuran dan arus budaya barat yang semakin deras masuk ke Negara tersebut, sehingga terbentuk suatu kondisi transisi budaya yang tidak terfilter dengan sempurna. Yang pada akhirnya akan membentuk suatu budaya baru yang dapat di terima oleh khalayak banyak .


Dan menurut saya anomaly ini mungkin juga atau sudah terjadi di Korea Selatan. Atau jangan-jangan anomaly seperti Jepang ini akan menimpa Negara-negara di Asia secara keseluruhan yang budayanya lebih terinfluence oleh budaya Eropa/Amerika. Tetapi tidak bagi Negara maju di Asia yang masih berideologi komunis seperti, China. Mereka memilki etos kerja yang tinggi, tetapi ada regulasi yang ketat dalam urusan Sex di sana,. Namun demikian berbeda dengan Jepang, pertumbuhan penduduk di China cenderung tinggi, sehingga di berlakukan regulasi “satu kepala keluarga satu anak.


Lantas Bagaimana Dengan di Indonesia ?.



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/22/etos-kerja-sex-dan-tidak-menikah-sebuah-keniscayaan-atau-anomali-perilaku-negara-maju--604054.html

Etos Kerja, Sex dan Tidak Menikah; Sebuah Keniscayaan atau Anomali Perilaku Negara Maju | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar