Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa ini ada benarnya juga. Karena pada kenyataannya, kita sering mendapati anak seorang dokter menjadi dokter pula, anak seorang tentara memilih pula jadi tentara, dan anak penyanyi ada pula yang jadi penyanyi. Tapi, ini adalah peribahasa. Tak ada yang mutlak benarnya. Dan lagi, tidak semua buah jatuhnya tak jauh dari pohonnya. Tetap ada buah-buah yang jatuhnya amat sangat jauh dari pohonnya. Sebabnya tidak pasti. Ada yang karena diambil kelelawar, dibawa terbang, tapi karena kurang hati-hati, jadilah buah itu jatuh di perjalanan. Atau bisa juga, karena pohonnya di pinggir kali lalu buahnya jatuh di kali, lalu hanyut sampai ke laut.
Artinya, bisa saja ada seseorang yang sama sekali tidak tertarik menjadi pedagang meski orang tuanya adalah saudagar handal. Ada pula seseorang yang malah ingin menjadi ustad meskipun orang tuanya berprofesi sebagai polisi. Bahkan masih tetap bisa untuk dimaklumi jika ada seorang anak yang justru bercita-cita jadi penerbang padahal kedua orang tuanya takut ketinggian. Tak ada yang aneh. Sebagaimana juga sama tidak anehnya dengan ayah dan anak yang sama-sama jadi bupati. Buah bisa saja jatuh tak jauh dari pohonnya. Namun tetap pula terbuka peluang bagi si buah untuk jatuh yang jauh dari pohonnya. Mengenai nasib kedua jenis buah tersebut tidaklah ada aneh-anehnya sama sekali. Lumrah, biasa, dan wajar. Sewajar-wajarnya malah.
Tetapi akhir-akhir ini saya melihat ada sebuah fenomena ketidakwajaran yang terjadi di depan saya. Ada sementara pohon yang mengharuskan buahnya jatuh mesti dekat dengan pohonnya. Ia akan melarang kelelawar memetik buahnya untuk dibawa terbang. Ia pun tidak mengizinkan buahnya jatuh di kali meskipun sang pohon hidup di dekat kali. Ia tak akan membiarkan buah yang jatuh dan kemudian hanyut sampai ke lautan. Ia ingin semua buahnya berkumpul bersama, tak jauh dari pohonnya. Benar-benar pohon dengan watak yang aneh!
Dan pohon-pohon dengan watak yang aneh-aneh itu, anehnya pelahan tapi pasti menjelma menjadi tokoh-tokoh politik. Tokoh-tokoh politik inilah yang kemudian mengumpulkan sanak-saudara dan handai taulannya dalam sebuah paguyuban. Berkumpul bersama membahas strategi terbaik apa yang mesti dipakai untuk menyejahterakan para anggotanya. Menghitung ada berapa pos-pos penting yang bisa menopang kelangsungan hidup paguyuban yang mereka dirikan. Setelah itu mengisi pos-pos itu dengan buah-buah yang hanya dari satu jenis saja. Tak peduli, kualitas benih unggul atau sebaliknya. Yang terpenting tercapai tujuannya: melanggengkan kekuasaan melalui kendaraan politik. Inilah barangkali yang disebut dengan wacana Politik Dinasti.
Sebetulnya tak ada yang aneh sekiranya anak politisi kemudian ia pun menjadi politisi. Tak pula sesuatu yang dilarang jika paman atau bibinya menjadi politisi, keponakannya pun kemudian terjun pula ke dunia politik. Tak ada yang salah memang. Dan belum ada aturan yang mengharamkannya. Inilah yang dimaksud dengan peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Akan tetapi menjadi sesuatu yang terkesan pemaksaan jika semua yang berkaitan dengan hubungan darah mesti digiring ke satu wilayah: Kekuasaan. Ah, secara samar-samar saya merasa pernah pula hidup dalam suasana dan situasi seperti ini.
Ternyata roda memang benar-benar berputar. Bukankah suasana dan situasi seperti ini pernah terjadi di negeri kita ini jauh sebelum terjadinya reformasi? Saat itu kita menyebutnya dengan nama Nepotisme. Dan sekarang ruh nepotisme ini hidup kembali di negeri tercinta kita dengan gelar baru: Politik Dinasti!

0 komentar:
Posting Komentar