blazer korea

Mempertanyakan Legalitas Wali Nanggroe



1382583753489257870

Wali Nanggroe Aceh (Sumber: http://ajnn.net/wp-content/uploads/2013/10/Malek-Mahmud-rozipamella-ajnn.jpg)



Terus terang, judul di atas adalah ungkapan kebingungan saya tentang apa yang tengah terjadi di tanah kelahiran saya, Aceh. Pertanyaan itu muncul ketika baik Pemerintah Aceh maupun DPRA secara sepihak mengesahkan qanun-qanun yang dianggap diskriminatif dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat Aceh, salah satunya adalah qanun Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Dikatakan sepihak karena hingga saat ini qanun tersebut hanya disetujui oleh DPRA dan Gubernur Aceh namun masih belum memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemendagri.





Kemendagri telah melayangkan surat permintaan revisi dan perbaikan karena berdasarkan penelitian Kemendagri sejumlah pasal yang diusulkan oleh DPRA banyak yang lebih tinggi dan melampaui kewenangan dari UUPA no.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh itu sendiri. Sementara itu, Pemerintah Aceh hanya menjawab tanpa merevisi qanun tersebut dengan alasan bahwa untuk revisi sudah lewat waktu dan tidak bisa dibatalkan sehingga Pemerintah Aceh menganggap qanun Lembaga Wali Nanggroe sudah sah. Landasan Kemendagri dalam permintaan revisi itu sudah sangat jelas tercantum dalam UU no.32 Tahun 2004 bahwa perda/qanun harus memiliki kriteria 1) Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum 2) Peraturan daerah lainnya 3) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Melihat dasar tersebut, Lembaga Wali Nanggroe secara de jure dapat dikatakan illegal dan belum dapat beroperasi.





Di sinilah letak kebingungan saya. Apabila Pemerintah Aceh tidak merevisi qanun Lembaga Wali Nanggroe, lalu bagaimana UU tersebut bisa dinyatakan sah oleh Pemerintah Aceh? Bukankah setiap qanun selalu menyertakan alokasi anggaran yang diperuntukkan bagi operasional lembaga tersebut? Lalu bagaimana caranya Pemangku Wali Nanggroe dapat bepergian dalam acara-acara kunjungan resmi seperti menghadiri royal wedding Kesultanan Yogyakarta beberapa waktu lalu? Atau sebelumnya kunjungan resmi ke Kesultanan Cirebon? Darimana biayanya? Apakah dialokasikan dari belanja/operasional Gubernur Aceh/pemerintah Aceh? Jika benar demikian, bagaimana pertanggungjawaban Gubernur Aceh kepada rakyat Aceh bahwa uang mereka digunakan untuk kepentingan sebuah lembaga/jabatan yang masih berstatus illegal?





Buat saya ini adalah bentuk demonstrasi kebodohan yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA yang dengan ngototnya memperjuangkan qanun yang jelas-jelas hanya berpihak pada kepentingan satu orang, yaitu Pemangku Wali Nanggroe itu sendiri, bukan pada kepentingan rakyat Aceh. Apalagi, baru-baru ini diberitakan langkah bodoh salah seorang anggota DPRA yang mengusulkan biaya pengukuhan Wali Nanggroe sebesar 50 milyar rupiah. Dimana legalitas mereka membijaksanai uang rakyat untuk kepentingan yang sangat jauh dari kepentingan rakyat? Celakanya lagi, Gubernur Aceh pun menyetujui usulan tersebut dengan mengatakan anggaran tersebut telah disiapkan. Langkah-langkah kebijakan konyol inipun diulangi oleh Pemerintah Aceh dan DPRA pada qanun lambang dan bendera Aceh yang juga belum memperoleh pengesahan dari Pemerintah Pusat.





Saya berharap, kebijakan-kebijakan konyol para elit Aceh ini tidak terus berlanjut di masa-masa yang akan datang. Rakyat Aceh sudah merasa cukup malu atas berbagai tontonan demonstrasi kebodohan yang ditampilkan oleh para elitnya sendiri. Dan tentu yang lebih penting lagi, rakyat Aceh saat ini sudah semakin cerdas untuk dapat memilih para wakilnya di pemilu yang akan datang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama pada pemilu yang lalu.




Rafli Hasan




sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/10/24/mempertanyakan-legalitas-wali-nanggroe-603356.html

Mempertanyakan Legalitas Wali Nanggroe | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar