Salah satu bentuk tuntutan reformasi adalah menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis, baik ditingkat pusat (Presiden) hingga daerah (Kepala Daerah). Bentuk perwujudan semangat demokratis kepemimpinan ditingkat daerah yang diamanatkan dalam UUD 1945 (amandemen ke IV) adalah pemilihan kepala daerah secara langsung yang kemudian diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Namun dalam penyelenggaraaannya ternyata tidak seperti yang diidam-idamkan, polemik terus terjadi dalam proses penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah seakan tidak memiliki akhir. Berbagai macam upaya dilakukan agar dapat menciptakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang demokratis terus dilakukan.
Polemik yang semakin parah ketika dimulainya babak baru yaitu dimasukkannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kedalam rezim Pemilu. Hal ini diawali melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah (Pilkada) dirubah menjadi pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Bab I Pasal 1 UU No. 22 tahun 2007 mempunyai maksud bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga berdasarkan hal tersebut akhirnya sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Perubahan UUD 1945 memungkinkan Mahkamah Konstitusi untuk memutus Perselisihan Hasil tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan rezim pilkada menjadi rezim pemilu.
Persoalannya, UU No 32 tahun 2004 masih mengatur perselisihan hasil pilkada menjadi kewenangan Mahkamah Agung sehingga perlu adanya regulasi lebih lanjut untuk mempertegas pengaturan mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah.
Kemudian dilakukanlah perubahan hingga munculah UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini penanganan sengketa pemilukada telah dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Peralihan kewenangan penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Namun yang perlu kita pahami bahwa sebuah pasal dalam undang-undang akan tetap dinyatakan berlaku apabila dalam undang-undang perubahannya tidak secara tegas dinyatakan telah dihapus atau diubah dengan rumusan pasal yang baru. Dalam hal penyelesaian Sengketa Pemilukada UU No 12 Tahun 2008 tidak mengubah Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan dasar kewenangan MA untuk memutus sengketa pilkada. Pasal 106 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 berbunyi: “Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Sehingga konsekwensinya norma yang memberikan kewenangan kepada MA atas keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah masih berlaku. Dan itu berbenturan dengan Pasal 236C di dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, yang notabene adalah UU yang sama.
Disisi lain jika kita melihat konstitusionalitas kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Berdasarkan amanat Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa : “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”, tidak ada disebutkan dalam BAB tentang PEMILU untuk memilih Kepala Daerah. Sementara tentang pemilihan Kepala Daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada BAB yang berbeda, yaitu BAB IV tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Artinya konstitusi sendiri tidak memasukan Pemilihan Kepala Daerah kedalam BAB yang mengatur tentang PEMILU. Artinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak tergolong dalam Rezim Pemilu. Itu sebabnya dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa Kepala Daerah dalam BAB Pemilihan Umum. Sehingga pada awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kewenangan untuk menangani sengketa pilkada diserahkan kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.
Baru kemudian, setelah munculnya UU No. 22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (UU 22 Tahun 2007 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi), menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam rezim Pemilu yang terdapat pada pasal 1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi : “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dimasukannya Pilkada dalam rezim pemilu menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah.
Melihat kondisi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang menjadi permasalahan yang tak kunjung usai akibat terjadinya disharmonisasi antar peraturan perundang-undangan, maka solusi yang paling tepat adalah melakukan Kaji Ulang norma yang ada dalam UUD 1945 dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan Amanat Pembukaan UUD 1945. Dengan menggali konsep Demokrasi dalam mekanisme pemilihan Pemimpin Rakyat Indonesia yang sesuai dengan 5 Prinsip yang terkandung dalam PANCASILA yaitu sila ke empat “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.

0 komentar:
Posting Komentar