Pagi ini saya dengar di radio muncul lagi statement kepala Negara mengkritisi berita yang merupakan issue di media terkait pencalonan kapolri, saya tak tahu apa lagi yang akan membuat rakyat terkejut-kejut mendengar hal tetek bengek yang tak penting untuk diangkat jangan-jangan tentang bocornya SMS dari pendukung AU juga jadi panas lagi. Bukankah lebih baik saat ini dikumpulkan para pakar dari segala disiplin ilmu, pemangku posisi strategis di negeri ini, pihak-pihak yang dinilai punya peran kunci dalam mendorong bangsa ini menjadi lebih baik, kalau perlu pihak-pihak yang dianggap lawan dalam perseteruan politik selama ini untuk berdiskusi dan berdialog mencari kesamaan dalam perbedaan yang ada demi kepentingan membangun bangsa ini. Mengangkat issue-issue sepele justru akan memperdalam jurang perbedaan.
Negara ini punya peluang menjadi Negara besar jika mampu bersatu mengumpulkan kekuatan dari semua sudut baik para pakar dan akademisi, para ahli hukum ketata negaraan dan praktisi, birokrat dan ekonom, pengusaha dan tokoh-tokoh daerah dll dalam menggalang seluruh kekuatan yang ada untuk membangun. Jangan terjebak pada pengkotak-kotakan dengan dalih demokrasi sehingga semua terpecah belah mempertahankan ego masing-masing sehingga kekuatan bangsa yang maha dahsyat itu terkotak kecil-kecil tak memberikan arti apa-apa. Sadarlah bahwa kita ini sudah dalam jebakan ‘New Devide Et Impera’. Kalau dulu wujudnya mengadu domba kerajaan nah sekarang wujudnya adalah mengadu domba ‘Partai’. Mengatasnamakan demokrasi.
Hampir di semua jenjang kepemimpinan di negeri ini muncul saling salahkan, saling serang, saling buka aib, saling jatuhkan yang dipicu berebut pengaruh. Tidak ada lagi apresiasi terhadap keberhasilan orang karena bukan se partai. Tidak pernah mau menerima kekalahan sehingga sebagian besar pilkada berujung di MK. Sampai di MK segala cara busuk dilakukan karena memang tujuannya ingin berkuasa. Kalau dari partai sendiri, seburuk apapun yang dilakukan tidak ada yang salah semuanya baik. Sikap yang ditampilkan di parlemen tidak kalah serunya, entah apa isi kepala sebagian orang yang katanya ‘oknum’ itu dalam menjalankan fungsi legeslatif dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, Yang muncul di media justru kelakuan ‘mengkhianati suara tuhan’ jadi hati-hati menyebut suara rakyat itu suara tuhan, kala di dewan yang sudah dipilih rakyat itu tidak benar kerjanya berarti mereka sudah ‘menipu tuhan’. Didikan macam apa yang diwariskan generasi ini pada generasi yang akan datang?.
Coba hitung, berapa dana yang dihabiskan untuk perhelatan demokrasi 5 tahunan itu dan berapa yang habis untuk Pilkada yang hampir setiap hari ada itu. Hemat saya ongkos demokrasi yang dikeluarkan negeri ini bisa jadi paling besar dibandingkan dengan negeri manapun di muka bumi ini. Bukankah ini berpotensi menambah hutang Negara dan memiskinkan bangsa ini. Kalau Negara ini miskin dan besar hutangnya maka bargaining posission nya lemah kalaupun ada pihak asing yang menyanjung dipastikan ada udang di balik batunya. Jika memang demokrasi merupakan keharusan atau wajib di dunia ini, maka mari menggunakan logoka demokrasi itu secara benar. Mari makmurkan rakyat sehingga suara yang diberikan rakyat itu benar-benar suara tuhan. Dalam sebuah hadis dikatakan kaadal fakru ayyakuna kufron ‘Sesungguhnya kefakiran itu akan menyebabkan kekufuran’ jika rakyat fakir maka akan akan besar kemungkinan kufur dan logikanya tidak mungkin suara rakyat yang dapat dibeli karena kefakiran mereka itu adalah suara tuhan. Kalau legalitas memimpin itu didapatkan dengan menghalalkan segala cara maka anda bukan pemimpin tapi justru ‘pengkhianat bangsa’. Orang-orang seperti itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan dimanapun meskipun secara materi dunia bisa saja melimpah.
Kepala Negara harus memiliki kemampuan managerial yang kuat, dan tentunya system pemerintahan yang ada harus memberi peluang itu. Jika tidak maka siapapun yang nantinya terpilih tidak akan memberikan efek signifikan terhadap gerak pembangunan negeri ini karena masing-masing kepala daerah memiliki ego kedaerahan dan dikendalikan partai yang mengusungnya. Presiden ‘dicuekin’ yang penting kepala daerah tidak ketangkap tanagan KPK atau ‘kedapatan’ melanggar hukum dan undang-undang pemerintahan daerah. Contoh riil yang ada sekarang coba lihat apa sikap kepala Negara terhadap ‘Dinasti Gubernur Banten’ Cuma mengeluarkan pernyataan ‘prihatin’ kan dengan ungkapan melanggar kepatutan dan etika !!!. Karena memang secara perundangan tidak ada yang dilanggar. Kecuali jika akhirnya Gubernur kedapatan melanggar hukum ‘habis kekuasaannya’.
Saat sekarang kita lihat banyak merasa terpanggil yang mencalonkan diri jadi Presiden dari berbagai belakang. Ini pertanda baik sebab masih banyak yang mau memimpin bangsa ini. Tapi ingat bahwa konsep kepemimpinan yang benar itu dari manapun kita pelajari dasarnya bukan untuk menguasai tapi lebih pada melayani sehingga paradigma berpikirnya adalah mendahulukan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi. Terpilih atau tidak mereka saat berlaga nanti bukan substansi yang penting bagaimana dapat memberikan kontribusi bersatu dalam membangun bukan untuk menjual negeri ini. Jadi jika ada pemimpin yang lebih sensitive terhadap hal yang sifatnya pribadi kelompok dan golongan ketimbang urusan layanan terhadap rakyat harus mengulang belajar dan merenung kembali.

0 komentar:
Posting Komentar