blazer korea

Aburizal Bakrie Seharusnya Belajar Dari Farhat Abbas



Salam perjuangan.


Jelang 2014 wacana capres - cawapres mengemuka dengan luar biasa intens. Dagelan politik tingkat tinggi ini ternyata mendapatkan respon atensi yg besar dari masyarakat. Besarnya perhatian masyarakat terhadap isu siapa capres-cawapres RI selanjutnya tidak hanya disebabkan karena kebiasaan rutin Pemilu/Pilpres 5 tahun sekali, tetapi terlebih karena masyarakat kita “kebelet” ingin cepat-cepat mengganti SBY-Boediono yg dianggap “LEMAH” dan “GAGAL” selama periode kepemimpinannya.


Dari sekian banyak nama Capres yg mengemuka, nama Aburizal Bakrie (ARB) menarik perhatian saya. Sebagai orang awam, ketika mendengar nama ARB maka yg paling pertama muncul di benak saya adalah kasus lumpur Sidoarjo. Kasus ini menurut saya memberikan pengaruh negatif yg besar kepada citra ARB. Selain itu, kasus pengemplangan pajak yg dilakukan oleh grup perusahaan milik Ketua Umum sekaligus Capres Golkar ini mungkin masih cukup dalam tertanam di benak kolektif masyarakat Indonesia. Singkatnya, ARB sepertinya masih sangat sulit keluar dari citra negatif yg tersematkan padanya jelang 2014.


Makanya secara logika agaknya sulit untuk bisa menerima hasil survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI) yg menempatkan Golkar (dengan ARB sebagai capresnya) di urutan pertama partai dengan elektabilitas tinggi. Apakah survey LSI adalah realita ataukah rekayasa? Mudah ditebak sebenarnya kemana arah kepentingan LSI dan hasil survey yg dirilisnya. Fakta banyaknya kader Golkar yg tersangkut kasus korupsi ditambah citra negatif ARB sebagai capres Golkar memberikan indikasi yg kuat bahwa survey LSI memang untuk men-setting citra Golkar pada Pemilu 2014, demi kepentingan pencapaian Parliamentary Tresshold.


ARB nampaknya sangat percaya diri dengan kans nya memenangkan Pilpres. ARB seolah bermuka tembok dengan fakta bahwa secara riil, elektabilitasnya masih kalah dibanding dengan capres lainnya. ARB memang memiliki popularitas yg tinggi, tetapi elektabilitas atau tingkat keterpilihannya sangat rendah. ARB malah lebih populer dimata masyarakat terkait dengan kasus yg saya sebutkan diatas (kasus utang dan lumpur lapindo). Tapi ya itu tadi, ARB seolah bermuka tembok dan menafikkan semua hal yg sebenarnya memberatkan kansnya memenangkan Pilpres.


Ingat ARB saya pun jadi ingat Farhat Abbas. ARB dan Farhat memiliki kesamaan. Dari sisi popularitas, Farhat mungkin sama terkenalnya dengan ARB. Siapa yg tidak kenal Farhat Abbas? Pengacara sekaligus artis ini terkenal dengan sikap dan komentar-komentarnya yg kontroversial menjurus “nyeleneh”. Tak heran Farhat banyak kali terlibat “konflik” dengan beberapa pihak. Sikap dan perilaku Farhat ini kemudian memunculkan stigma negatif di kalangan masyarakat kita. Tapi hal itu tidak menyurutkan niat Farhat Abbas mencalonkan diri dalam Pilkada Kolaka. Sebelumnya dia malah berniat maju sebagai Capres RI dari jalur independen sebelum “dianulir” MK. Farhat tidak memperdulikan citra negatif yg disematkan masyarakat kepadanya. Hasilnya, dia kalah di Pilkada Kolaka bahkan sementara masih menempati urutan paling buncit.


ARB seharusnya belajar dari Farhat Abbas yg kalah di Pilkada Kolaka. Kedua-duanya memiliki popularitas yg tinggi, didominasi citra negatif. Kedua-duanya memiliki ambisi yg besar bahkan sama-sama menafikkan fakta tingginya citra negatif yg disematkan masyarakat kepadanya. Namun pada akhirnya Farhat Abbas harus kalah dan kecewa. Maka ARB sepatutnya mengira-ngira kembali peluangnya memenangkan Pilpres 2014.


Salam perjuangan.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/10/21/aburizal-bakrie-seharusnya-belajar-dari-farhat-abbas-600982.html

Aburizal Bakrie Seharusnya Belajar Dari Farhat Abbas | Unknown | 5

0 komentar:

Posting Komentar